Selasa, 21 April 2015

Aku rindu usapan lembut ibu mertuaku

Bagi sebagian orang, ibu mertua adalah sosok wanita yang sangat bawel dan banyak maunya, inilah…itulah….sampai-sampai urusan rumah tangga kita di bawah kendalinya, tak heran jika beberapa orang dari teman-temanku  tidak cocok dengan ibu mertua mereka, karena beda argumen. Baik untuk ibu mertua belum tentu baik untuk kita. Namun, tidak semua ibu mertua seperti itu, sebagian lagi beranggapan ibu mertua adalah wanita yang penuh perhatian dan kasih sayang. Apalagi jika ibu mertua kita termasuk orang berduit, pasti semua kebutuhan kita akan dipenuhinya lebih-lebih jika menyangkut kebutuhan dari sang cucu, mungkin saja sebagai seorang ibu kita hanya terima beres. Lama-lama, justru kita yang ga enak hati sama ibu mertua jika semua kebutuhan harus dipenuhinya. Ya…itu sebagian kecil cerita tentang sosok seorang ibu mertua.

Tau ga sih, Kadang aku iri bahkan menangis dalam hati jika teman-temanku menceritakan kebaikan ibu mertua mereka. Kemana-mana selalu bersama, apalagi kalau punya selera yang sama, jika tinggal berlainan kota selalu mendapat kiriman khusus dari ibu mertua mereka. Namun itu bagi mereka, tapi bagiku…… aku tidak pernah tau bagaimana sosok ibu mertuaku, ibu dari suamiku, bahkan aku tidak pernah tau bagaimana raut wajahnya yang sebenarnya. Aku rindu dengan hangat sentuhan tangannya atau lezat masakannya. Aku rindu mendengar suara ibu mertuaku, sekalipun itu hanya berupa omelan. Aku juga rindu dengan suara merdu ibu mertuaku yang sekali-kali menelepon dan menanyakan tentang keadaan kami, terutama cucu-cucunya. Ya…jika ibu mertuaku masih hidup mungkin ia akan bahagia melihat cucu-cucunya saat ini telah beranjak dewasa.

Ibu mertuaku bernama Kunnu, nama yang singkat, sesingkat usianya. Lahir di Enrekang, Sulawesi selatan. Menurut suamiku wajahnya mirip dengan ibuku. Ia telah lama menghadap sang khalik, bahkan kepergiannya terlalu cepat, ketika itu suamiku masih berusia  8 tahun, usia yang masih sangat membutuhkan belaian dan kasih sayang seorang ibu. Ibu mertuaku adalah seorang penjahit, karena lelah menerima jahitan yang banyak, ibu jadi sakit, hingga meninggal dunia.

Bercerita tentang kenangan masa kecil suamiku bersama sang ibu, adalah hal yang sangat menyedihkan baginya, tak banyak  kisah yang terukir, karena memang kebersamaan mereka begitu singkat. Kadang matanya berkaca-kaca ditengah ceritanya. Masa-masa pertama kehilangan seorang ibu adalah masa terberat bagi ia dan saudara-saudaranya. Suamiku adalah anak kedua dari tiga bersaudara. Bapak mertuaku saat itu sebagai petani, pekerjaannnya mengharuskan ia turun ke sawah lebih awal, selesai shalat subuh, dan pulang menjelang magrib.Tentu saja keadaan ini sedikit memaksa suamiku dan saudaranya untuk belajar mandiri, belajar untuk menjadi pribadi yang dewasa, meskipun tidak sesuai dengan porsi usianya.

Teringat, ketika kami menikah, suamiku saat itu sangat terharu tanpa didampingi oleh sosok seorang ibu. Untungnya bapak mertuaku dan adik kandung ibu mertuaku berkesempatan hadir, malam harinya ia menangis sambil menyebut-nyebut nama “ibu”. Akupun jadi ikut terharu, kami berdua menangis bersama. Beberapa tahun setelah pernikahan, suami membawaku bersilaturahmi dengan keluarga dikampungnya, tidak lupa kami berziarah kemakam ibu mertuaku. Aku hanya bisa tertunduk sedih. Doa selalu kami panjatkan untuknya. Aku yakin ia adalah seorang ibu yang baik dan saat ini berada di surga. Setiap selesai shalat berjamaah aku dan suamiku selalu mengirimkan doa untuknya. Semoga lebaran tahun ini kami sekeluarga diberi kesempatan dan kesehatan untuk dapat berziarah dimakam ibu.Tak ada cerita tentang kebersamaanku dengannya, aku hanya berharap dapat bertemu dengannya didalam mimpiku, mengusap rambutku dan membelai kepala anak-anakku, cucunya.

                                                              11139416_837436716327333_2977273846571198362_n



Terpaku dalam sebuah tafakur
Terisak dalam tetesan airmata
Ada sebait doa yang senantiasa ku kirim untukmu
Meski aku tak pernah mengenalmu
Meski aku tak pernah merasakan sentuhan tangan halusmu
Namun hadirmu senantiasa kurindukan dalam mimpiku……

Ibu………..
Mengingatmu adalah duka bagi anakmu
Bagiku dan bagi cucu-cucumu
Hadirmu bak fatamorgana
Bayangmu ada namun tak jelas
Jangankan memelukmu
Menggapaimu-pun aku tak bisa…

Ibu….
Terbaringlah dengan bahagia
Dalam tidur panjangmu
Aku dan anakmu akan selalu mengirimkan doa untukmu…..


Senin, 02 Februari 2015

Kau pergi bersama lagu kita


Namun semua itu tak terasa ketika aku melihatnya dari pintu gerbang sekolah, ia duduk menungguku diatas motornya, diseberang jalan. Dari kejauhan kepalanya celingak-celinguk mencariku. Ya…Syukurlah, pikirku… daripada harus berpanas-panas ria pulang sekolah jalan kaki, tak ada salahnya memanfaatkan kebaikannya yang sudah rela menjemputku ditengah hari yang panas ini, lagian dosa juga, jika aku menolak niat baiknya. Sambil tersenyum aku menghampirinya, setelah itu duduk manis dijok belakang motornya. Ngeeeng… motorpun melaju melintasi jalanan yang saat itu dipadati oleh  siswa-siswi sekolah menengah atas yang menunggu jemputan dan angkot untuk kembali kerumah mereka masing-masing. Sepuluh menit perjalanan sampai juga dirumahku. Sambil mengucapkan terimakasih aku bergegas masuk kerumahku. Iapun berlalu.

Keesokan harinya, masih seperti kemarin-kemarin ia masih setia menungguku pulang sekolah, akupun tak pernah menolak niat baiknya itu, sepertinya kami punya kecocokan, aku yang rada tomboy dan dia yang  slengean dengan rambut yang sedikit gondrong. Hobi kami sama, suka musik, lagu yang kusuka, pasti juga ia suka. Ia pandai sekali memainkan gitar dengan lagu-lagu yang lagi hits saat itu. Semakin sering ia datang kerumahku, Ayah dan Ibu sudah mengenalnya, sementara keluarganya-pun sudah mengenalku. Aku mengenalnya melalui kakaknya dan sahabatku yang saat itu satu organisasi denganku.

Jika ada artis ibukota yang mengadakan konser dikotaku, kami tak melewatkan kesempatan ini. Hari minggu kadang kami lewatkan dengan berekreasi bersama. Sekali waktu ia datang menjemputku untuk rekreasi, saat itu sepertinya aku mengalami gejala sakit mata. Karena tak ingin mengecewakannya, akupun menemaninya atas izin ibu. Ssssst......dalam hal ini, ibulah yang paling mengerti aku, tak berani aku pamit dengan ayahku. Alhasil, sesampainya dirumah mataku bertambah parah sakitnya, perih terasa jika melihat lampu dan cahaya, tergoleklah aku dipembaringan untuk beberapa hari. Iapun beberapa kali datang kerumah untuk menjengukku. Hari yang terlewatkan bersamannya begitu indah.





Senin, 12 Januari 2015

Kunci berkarat, pembawa rahmat

Siapa sih yang ga mau diberi sebuah kado, yang murah aja senang, apalagi yang mahal. Tapi kali ini kado yang kuterima bukanlah seperti itu. Sudah bekas, karatan lagi. Namun berawal dari kado itulah terjalin kisah yang manis.

Ketika aku masih gadis aku senang banget main voli, bukan pemain bayaran sih, atau pemain yang sudah mondar-mandir ikut event-event kejuaraan daerah, hanya sekadar hobi saja. Cukup bagus juga sih permainanku, kadang membuat lawan lari pontang-panting menangkis smash yang ga tajam-tajam amat dariku. Setelah menikahpun aku masih senang dengan yang namanya voli ball.

Sore itu, seperti biasa aku lewat digang kecil yang ada dibelakang rumahku untuk menuju kelapangan voli yang tak jauh dari situ. Ketika itu aku masih tinggal diasrama militer denpom dengan ayah dan ibuku.  Bersebelahan dengan barak denpom, ada barak milik korem yang saat itu sementara direhab. Ahai, ternyata ada seorang pemuda yang dari jauh senyum-senyum melihat kearahku ketika aku melewati bangunan tersebut. Akupun tersipu malu, ada apa ya?? Kok aneh, sepertinya jantungku berdegup keras karena melihat senyumnya. Aku memang sering bertemu dengan pemuda itu, kadang kami saling berpapasan digang kecil dikomplek asrama tersebut. Namun hanya sebatas say hello saja.

Sudah beberapa bulan pemuda tersebut mondar-mandir dibarak tersebut untuk menyelesaikan proyek rehab asrama militer. Dalam perjalanan menuju lapangan akupun berkhayal dibuatnya. Bertanya-tanya dalam hati, sepertinya senyum tadi mengandung arti. Ahh, kutepiskan khayalanku, bergabung bersama ibu-ibu dan bermain voli pasti lebih seru. Berlari kesana kemari, meloncat, tertawa makin menambah seru suasana sore hari itu. Untuk sesaat aku terlupakan dengan senyum manis itu.

Asyik-asyik bermain akupun dikejutkan oleh adikku yang saat itu tiba-tiba memanggilku. “Kak, ini ada titipan, dari om yang sedang rehab bangunan korem”. Sambil menyerahkan sebuah bungkusan kecil. Penasaran dengan isinya akupun membuka bungkusan tersebut. Astaga, aku terkejut, ternyata isinya hanyalah sebuah “kunci berkarat”, mana kertas pembungkusnya sudah usang lagi. Hiks,kuabaikan pemberian darinya dengan menyuruh adikku memegangnya.




Aku kembali asyik dengan permainanku, namun hatiku tak menentu, bertanya-tanya dalam hati apa maksud dari pemberiannya tersebut, dan ini sedikit membuyarkan konsentrasiku saat bermain voli. Pintar juga pemuda itu, memanfaatkan adikku sebagai jasa untuk pengiriman barang, cepat dan tepat, pikirku.

Keesokan harinya, aku bertemu dengan pemuda tersebut, saat itu ia mengantarkan gelas dan ember yang ia pinjam dari ibuku, dia memberikannya kepadaku. Gleeek, aku menjadi gugup ketika ia menyerahkan barang tersebut, ia menyentuh jemariku, jantungku berdegup kencang. Ibarat seorang bidadari yang sedang menari-nari diantara ribuan bunga, kakiku seakan tak menyentuh tanah. Masih dengan senyumnya yang manis iapun mengucapkan terimakasih dan meninggalkanku yang saat itu seperti orang linglung.

Beberapa minggu setelah itu, saat malam minggu ia bertandang kerumah dan mengajakku jalan-jalan dikota palu, dengan naik angkot kamipun menuju pantai talise palu dan duduk-duduk dipinggir pantai tersebut. kemudian ia bertanya padaku, “De, kunci yang kutitip sama adik beberapa hari lalu masih ada?”, kujawab dengan singkat, “iya, masih ada”. Kemudian ia bertanya lagi, “ade tau apa maksudnya?”, masih dengan jawaban yang singkat kujawab “tidak”.

“Kunci itu saya berikan, untuk membuka pintu hati adik”, aku terpaku, belum mengerti apa maksud dari ungkapannya tersebut. “sengaja saya berikan kunci yang berkarat sama ade, seperti hati saya saat ini yang hampir berkarat untuk menunggu kata “ya” atau “tidak” dari jawaban cintamu. Oh. My good, kali ini bukan hanya jantungku yang berdegup keras, tapi aku hampir pingsan dibuatnya. Kepo banget sih aku, baru tahu apa maksud dari kunci berkarat tersebut, pikirku dalam hati. Malam itu tanggal 22 Juli 1999, dengan memberikan jawaban “ya”, akupun resmi menjadi kekasihnya. Rembulan malam yang bersinar dan memantul diatas deburan ombak dan birunya air laut, menambah romantis dan indahnya malam itu.

Senyum manis yang kulihat dari pemuda tersebut, masih bisa kunikmati sampai sekarang. Karena ia telah menjadi imamku saat ini. 14 tahun sudah kami arungi bahtera rumah tangga bersama, dan telah dikaruniai tiga orang putra-putri. Kusimpan kunci berkarat tersebut sebagai bukti dan lambang keabadian cinta kami. Kunci berkarat pemberian darinya adalah pembawa rahmat untuk semua nikmat yang telah kudapat saat ini. Kunci berkarat adalah kado yang paling indah sepanjang hidupku, karena ada sebuah cerita cinta yang terukir disitu.