Siapa sih yang ga mau diberi sebuah kado, yang murah aja senang,
apalagi yang mahal. Tapi kali ini kado yang kuterima bukanlah seperti itu.
Sudah bekas, karatan lagi. Namun berawal dari kado itulah terjalin kisah yang
manis.
Ketika aku masih gadis aku senang banget main voli, bukan pemain
bayaran sih, atau pemain yang sudah mondar-mandir ikut event-event kejuaraan
daerah, hanya sekadar hobi saja. Cukup bagus juga sih permainanku, kadang
membuat lawan lari pontang-panting menangkis smash yang ga tajam-tajam amat
dariku. Setelah menikahpun aku masih senang dengan yang namanya voli ball.
Sore itu, seperti biasa aku lewat digang kecil yang ada dibelakang
rumahku untuk menuju kelapangan voli yang tak jauh dari situ. Ketika itu aku
masih tinggal diasrama militer denpom dengan ayah dan ibuku. Bersebelahan
dengan barak denpom, ada barak milik korem yang saat itu sementara direhab.
Ahai, ternyata ada seorang pemuda yang dari jauh senyum-senyum melihat kearahku
ketika aku melewati bangunan tersebut. Akupun tersipu malu, ada apa ya?? Kok
aneh, sepertinya jantungku berdegup keras karena melihat senyumnya. Aku
memang sering bertemu dengan pemuda itu, kadang kami saling berpapasan digang
kecil dikomplek asrama tersebut. Namun hanya sebatas say hello saja.
Sudah beberapa bulan pemuda tersebut mondar-mandir dibarak tersebut
untuk menyelesaikan proyek rehab asrama militer. Dalam perjalanan menuju
lapangan akupun berkhayal dibuatnya. Bertanya-tanya dalam hati, sepertinya
senyum tadi mengandung arti. Ahh, kutepiskan khayalanku, bergabung bersama
ibu-ibu dan bermain voli pasti lebih seru. Berlari kesana kemari, meloncat,
tertawa makin menambah seru suasana sore hari itu. Untuk sesaat aku terlupakan
dengan senyum manis itu.
Asyik-asyik bermain akupun dikejutkan oleh adikku yang saat itu
tiba-tiba memanggilku. “Kak, ini ada titipan, dari om yang sedang rehab
bangunan korem”. Sambil menyerahkan sebuah bungkusan kecil. Penasaran dengan
isinya akupun membuka bungkusan tersebut. Astaga, aku terkejut, ternyata isinya
hanyalah sebuah “kunci berkarat”, mana kertas pembungkusnya sudah usang lagi.
Hiks,kuabaikan pemberian darinya dengan menyuruh adikku memegangnya.
Aku kembali asyik dengan permainanku, namun hatiku tak menentu,
bertanya-tanya dalam hati apa maksud dari pemberiannya tersebut, dan ini
sedikit membuyarkan konsentrasiku saat bermain voli. Pintar juga pemuda itu,
memanfaatkan adikku sebagai jasa untuk pengiriman barang, cepat dan tepat, pikirku.
Keesokan harinya, aku bertemu dengan pemuda tersebut, saat itu ia
mengantarkan gelas dan ember yang ia pinjam dari ibuku, dia memberikannya
kepadaku. Gleeek, aku menjadi gugup ketika ia menyerahkan barang tersebut, ia
menyentuh jemariku, jantungku berdegup kencang. Ibarat seorang bidadari yang
sedang menari-nari diantara ribuan bunga, kakiku seakan tak menyentuh tanah.
Masih dengan senyumnya yang manis iapun mengucapkan terimakasih dan
meninggalkanku yang saat itu seperti orang linglung.
Beberapa minggu setelah itu, saat malam minggu ia bertandang
kerumah dan mengajakku jalan-jalan dikota palu, dengan naik angkot kamipun
menuju pantai talise palu dan duduk-duduk dipinggir pantai tersebut. kemudian
ia bertanya padaku, “De, kunci yang kutitip sama adik beberapa hari lalu masih
ada?”, kujawab dengan singkat, “iya, masih ada”. Kemudian ia bertanya lagi,
“ade tau apa maksudnya?”, masih dengan jawaban yang singkat kujawab “tidak”.
“Kunci itu saya berikan, untuk membuka pintu hati adik”, aku
terpaku, belum mengerti apa maksud dari ungkapannya tersebut. “sengaja saya
berikan kunci yang berkarat sama ade, seperti hati saya saat ini yang hampir
berkarat untuk menunggu kata “ya” atau “tidak” dari jawaban cintamu. Oh. My
good, kali ini bukan hanya jantungku yang berdegup keras, tapi aku hampir
pingsan dibuatnya. Kepo banget sih aku, baru tahu apa maksud dari kunci
berkarat tersebut, pikirku dalam hati. Malam itu tanggal 22 Juli 1999, dengan
memberikan jawaban “ya”, akupun resmi menjadi kekasihnya. Rembulan malam yang
bersinar dan memantul diatas deburan ombak dan birunya air laut, menambah
romantis dan indahnya malam itu.
Senyum manis yang kulihat dari pemuda tersebut, masih bisa
kunikmati sampai sekarang. Karena ia telah menjadi imamku saat ini. 14 tahun
sudah kami arungi bahtera rumah tangga bersama, dan telah dikaruniai tiga orang
putra-putri. Kusimpan kunci berkarat tersebut sebagai bukti dan lambang
keabadian cinta kami. Kunci berkarat pemberian darinya adalah pembawa rahmat
untuk semua nikmat yang telah kudapat saat ini. Kunci berkarat adalah kado yang
paling indah sepanjang hidupku, karena ada sebuah cerita cinta yang terukir
disitu.